Jumat, 22 Maret 2013





LANDASAN PENDIDIKAN KONSEP DAN APLIKASINYA


disusun oleh


                    Teuku Asrul  (0706102040070)







FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2011




KATA PENGANTAR
Kami bersyukur atas kehadirat Allah yang maha pengasihkarena hanya dengan kodrat Allah dan iradat-Nya kami memperoleh kekuatan sehingga kami berhasil menyusun makalah ini.
Alhamdulillah, penulisan makalah yang berjudul landasan pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini kami buat dalam upaya untuk mempermudah kami mahasiswa yang mengikuti kuliah landasan Pendidikan pada semester genap ini sekaligus dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas Syiah Kuala.
Makalah ini berisi pokok-pokok materi perkuliahan Landasan Pendidikan yang dipelajari oleh mahasiswa program studi PBSI. Oleh karena itu, makalah ini kami maksudkan sebagai bahan pembelajaran kami para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Landasan Pendidikan.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi mereka yang menggunakan nya. Dan kami menyadari kelemahan kami dalam perbuatan makalah ini belumlah sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran sehingga makalah ini menjadi sempurna.
Banda Aceh, November 2011

                                 Penulis 


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Seorang pendidik mempunyai kewajiban membimbing, mengarahkan, mengantarkan, dan mengembangkan potensi anak didik. Tentu saja, kewajiban ini tidaklah mudah bagi seorang pendidik, sebab ia harus mampu menggali atau mengungkap potensi peserta didik yang masih tersembunyi menjadi potensi yang tumbuh dan berkembang ke permukaan.
Seorang pendidik perlu pandangan yang luas, sehingga memiliki pemahaman yang mendalam terkait dengan beragam konsep pendidikan. Semua hal yang perlu dipelajari oleh pendidik dalam hal yang terurai di atas termaktub dalam mata kuliah Landasan Pendidikan.
Akhirnya, kami merasa perlu untuk membahas atau mengkaji buku yang berjudul landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, sebab buku ini menaruh perhatian pada beragam konsep pendidikan. Selain itu, penyusunan bab demi bab telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah teknologi pendidikan, sehingga aneka materi yang disajikan menjadi mudah dipahami. Dengan demikian, tidak hanya kalangan akademisi saja yang dapat mengambil manfaat, melainkan juga masyarakat luas yang peduli akan dunia pendidikan.
Buku  yang berjudul landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya terdiri dari 6 bab. Bab pertama mengurai sedikit tentang pendahuluan atau menyangkut dengan isi yang terkandung didalamnya atau berbagai masalah yang akan dikupas. Akhirnya, kami sepakat untuk memilah masalah yang harus dikaji dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah yang dimaksud sebagai berikut.
1.      Bagaimana hakikat pendidikan?
2.      Bagaimana aliran-aliran dalam pendidikan?
3.      Bagaimana teori-teori pendidikan?
4.      Bagaimana pendidikan dan nasionalisme?
5.      Bagaimana mutu pendidikan?



BAB II
INTISARI
Seorang pendidik berkewajiban membimbing, mengarahkanmengantarkan, dan mengembangkan potensi anak didik seoptimal mungkin. Tentu saja, pekerjaan ini tidaklah mudah bagi seorang pendidik, sebab ia harus mampu menggali atau mengungkap potensi peserta didik yang masih tersembunyi (hidden talent) menjadi potensi yang tumbuh dan berkembang ke permukaan. Sebuah layanan yang bukan saja membutuhkan waktu, akan tetapi membutuhkan pula proses layanan pendidikan yang tepat dan benar.
Dengan dasar di atas, seorang pendidik perlu pandangan yang luas, sehingga memiliki pandangan yang mendalam terkait dengan beragam konsep pendidikan. Peristiwa memilah, memilih, dan menerapkan beragam teori pendidikan menjadi bagian yang kerap dilakukan oleh seorang pendidik. Selain itu, mengkaji dan menentukan keberpihakan  pada beragam aliran dari beberapa tokoh pendahulu juga merupakan bagian yang senantiasa dilakukan oleh seorang pendidik yang berkeinginan memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didiknya.
 Peserta didik merupakan subjek dalam pembelajaran,maka apa pun yang dilakukan guru hendaknya merupakan upaya menumbuhkan potensi mereka.Oleh karena itu,peserta didik dikondisikan untuk aktif dan bebas dalam mengemukakan berbagai pikiran dan imajinasinya.Sebagai fasilitator dan pendidik guru senantiasa memberikan rambu-rambu,motivasi,dan koreksi dengan semangat edukasi dan apresiasi Guru harus memandang setiap peserta didik adalah unik,istimewa,dan terlahir dengan bakat yang berbeda-beda.Anak harus dipahami,diterima apa adanya,dicintai,dan difasilitasi agar masing-masing tumbuh secara optimal sesuai bakat dan minatnya.
Dari apa yang diuraikan di atas, salah satu kuncinya adalah bagaimana membangun kultur sekolah (school culture) yang mendorong pada kesadaran anak untuk berpihak pada saudara-saudaranya. Peserta didik diharapkan memiliki sikap empati dan membantu saudara-saudaranya yang terpinggirkan, mengingat realitas masyarakat Indonesia yang multicultural.






BAB  III
PEMBAHASAN
A.    HAKIKAT PENDIDIKAN
Menyadari peran penting pendidikan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami terlebih dahulu hakikat pendidikan. Pemahaman hakikat pendidikan akan menyebabkan kita memahami peran, kedudukkannya, dan menilai pendidikan secara proposional. Persoalan yang dihadapi manusia dan kemanusiaan tak pelak juga melibatkan persoalan pendidikan didalamnya, yaitu sejauh mana pendidikan mampu berperan mengantisipasi dan mengatasi persoalan itu.
1.      Pendidikan
Untuk memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat pndidikan, yakni paedagogi dan paedagogiek. Paedagogie bermakna pendidikan, sedang paedagogiek berarti  ilmu pendidikan (Purwanto, 1995:3). Ilmu mendidik adalah ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagi anak atau untuk anak sampai ia mencapai dewasa (Rasyidin, 2007:34).
Menurut Taksonomi Bloom, pengajaran terbagi atas :
a.      Bidang kognitif, yakni yang berkenaan dengan aktivitas mental, seperti ingatan pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan mencipta
b.      Bidang afektif, yakni berkenaan dengan sikap dan rahasia diri
c.       Bidang psikomotor, yakni berkenaan dengan aktivitas fisik seperti keterampilan hidup dan pertukangan.

Pendidikan dimulai di keluarga atas anak (infant) yang belum mandiri, kemudian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar (millieu), lembaga prasekolah, persekolahan formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari kelompok kecil sampai rombongan relatif  besar (lingkup makro) dengan pendidikan dimulai dari guru rombongan/kelas yang mendidik secara mikro dan menjadi pengganti orang tua (Rasyidin, 2007:36).

2.      Mendidik
Kata mendidik adalah kata kunci dari pendidikan. Beberapa pengertian menurut para ahli .
a.      Langeveld, mendidik adalah mempengaruhi dan membimbing anak dalam usahanya mencapai kedewasaan
b.      Hoogveld, mengatakan mendidik itu adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya
c.       kekuatan kodrat yang ada pada anak agar meraka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Mendidik adalah membimbing pertumbuhan anak, jasmani ,maupun rohani  dengan sengaja, bukan saja untuk kepentingan pengajaran sekarang melainkan utamanya untuk kehidupan seterusnya di masa depan (Rasyidin, 2007:34).
Pengertian pembelajaran adalah usaha sadar yang sengaja dilakukan agar seseorang tertarik dan nyaman ketika belajar. Tak heran apabila hasil dari pembelajaran adalah akan terjadi perubahan tingkah laku pada diri orang yang belajar. Perubahan tingkah laku menurut Bloom dapat terjadi dalam tiga ranah, yaitu perubahan di ranah kognitif berupa bertambah dan makin kuatnya konsep pengetahuan, perubahan afektif berupa  tumbuh dan bertambahnya keinsyafan dan kesadaran akan fungsi dan kebermaknaan pengetahuan yang kini dimilikinya, dan perubahan psikomotor yang menunjukkan makin berkembangnya keterampilan yang kini dan kelak dapat menyebabkan dirinya mampu mempertahankan diri.
3.      Filosofi Pendidikan Nasional
Filosofi Pendidikan Nasional memperhatikan pula kehidupan bangsa-bangsa di dunia, sehingga pendidikan di Indonesia pun dapat dimengerti, dipahami, dan memiliki kualitas yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam pendidikan nasional, yaitu nilai moral pancasila, dapat berinteraksi dengan nilai moral yang berlaku universal di seluruh penjuru dunia.
Filsafat pendidikan yang bersifat perenialisme yang berpusat pada pelestarian dan pengembangan budaya dan sifat pendidikan yang progresif  pada pengembangan subjek didik perlu disempurnakan. Filsafat pendidikan yang bersifat perenialisme dan progresif yang melihat subjek didik sebagai bagian dari warga dunia, dan mengingatkan dengan sungguh-sungguh agar warga Negara tidak di dikte oleh perubahan tetapi mampu bertindak sebagai bangsa yang mampu member alternative. Dengan dasar itu, maka misi pendidikan nasional dalam hal ini diterjemahkan sebagai rekrontuksi social.
4.      Tujuan Pendidikan
a.       Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap self  knowing dan self kemudian inquiry dan reasoning and logic.
b.      Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan penyadaran terhadap self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan (efficacy) dan potensi untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan dan kemampuan berpikir rasional.
c.       Dewey, tujuan pendidikan adalah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi individual dan berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaran pendidikan dan pengajaran bersifat aktif, ilmiah, dan memasyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa tanggung jawab, keterampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.
5.      Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut, dikatakan: “pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasiaonal ditentukan oleh pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat atau para pakar yang berkompeten dan kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan anggota DPR.


B.     ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN
Ilmu pendidikan berasal dari berbagai ilmu seperti sosiologi, psikologi, dan filsafat. Oleh karena itu, didalam ilmu pendidikan ditemukan berbagai macam aliran. Adanya beragam aliran ini disebabkan ilmu pendidikan berhubungan dengan manusia yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Di sisi lain perkembangan manusia itu sendiri menjadi objek studi para ahli, sehingga pendidikan tak pernah luput dari pemikiran para ilmuwan.
1.      Empirisme
Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan yang dibawanya semenjak lahir tidak dipentingkan.
Tokoh utama aliran ini adalah john lock. Teori ini mengatakan bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas putih yang kosong yang belum ditulisi atau dikenal dengan istilah “tabularasa” (a blank sheet of paper). Teori ini mengatakan bahwa manusia yang lahir adalah anak yang suci seperti meja lilin.Dengan demikian, menurut aliran ini anak-anak yang lahir ke dunia tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa, sebagai kertas  putih yang polos. Oleh karena itu, anak-anak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orang dewasa yang memberikan warna pendidikannya.
Menurut pandangan Empirisme (atau dikenal juga sebagai environmentalisme), pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik menyediakan lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak. Lingkungan itu akan diterima oleh anak sebagai sejumlah pengalaman yang kesemua pengalaman itu telah disesuaikan dengan tujuan pendidikan.



2.      Nativisme
Seorang filsuf jerman Schopenhauer  (1788-1860), dikatakan bahwa anak-anak yang lahir ke dunia sudah memiliki pembawaan atau  bakatnya yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing. Pembawaan tersebut ada yang baik ada juga yang buruk. Oleh karena itu, menurut paham ini perkembangan anak tergantung dari pembawaanya sejak lahir. Berdasarkan aliran ini, keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh anak itu sendiri. Yang paling berpengaruh menurut aliran ini adalah pembawaan. Pendidikan tidak akan berdaya mempengaruhi perkembangan anak karena setiap anak telah memiliki pembawaannya sejak dilahirkan.
3.      Naturalime
Seorang filsuf prancis J.J. Rousseaue, berpendapat  bahwa setiap anak yang baru dilahirkan pada hakikatnya memiliki pembawaan baik. Namun pembawaan baik yang terdapat pada setiap anak itu akan berubah sebaliknya karena dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan tersebut berupa, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, atau lingkungan masyarakat di sekitar di mana anak tumbuh dan berkembang. Berdasarkan pendapatnya tersebut, aliran ini dikenal juga dengan sebutan Negativisme.Rousseaue juga mengatakan, anak yang terlahir  dalam keadaan baik tersebut biarkan berkembang secara alami. Ini artinya bahwa perkembangan anak yang dipengaruhi oleh  pendidikan apakah pendidikan di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat sebagai urun rembuk orang-orang dewasa malah akan merusak pembawaan anak yang baik. Hal ini seperti dikemukakan oleh J.J. Rousseaue, yaitu : “segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari alam, dan segala sesuatu menjadi  jelek manakala ia sudah berada di tangan manusia”. Oleh karena itu, di sini jelas bahwa Rousseau tidak berharap pada pendidikan. Dengan kata lain sekolah tidak perlu ada. Ia menginginkan perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat jadi guru.


4.      Konvergensi
Konvergensi artinya titik pertemuan. Pelopor aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan Jerman. Ia mengatakan bahwa seseorang terlahir dengan pembawaan buruk. Ia pun mengakui bahwa proses perkembangan anak, baik faktor pembawan maupun faktor  lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Aliran ini menyampaikan bahwa bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik pun sulit mengembangkan potensi anak secara optimal apabila tidak terdapat bakat yang diperlukan bagi perkembangan yang  diharapkan anak tersebut. Dengan demikian, paham ini menggabungkan antara pembawaan sejak lahir  dan lingkungan yang menyebabkan anak mendapatkan pengalaman. William Stern menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan dan lingkungan itu dengan perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. Oleh karena itu, teorinya dikenal dengan sebutan konvergensi (konvergen berarti memusat ke satu titik).


C.    TEORI-TEORI PENDIDIKAN
1.      Behaviorisme
Aliran behavioris didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Oleh karena itu, aliran ini berusaha mecoba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Dalam aliran ini tingkah laku dalam pembelajaran berubah kalau ada stimulus dan respon. Stimulus dapat berupa perlakuan yang diberikan siswa, sedangkan respon berupa perlakuan yang terjdi pada siswa. Adapun yang terjadi antara stimulus dan respons itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak dapat diamati. Dalam behavior, faktor lain yang penting reinforcement (penguatan), yaitu penguatan yang dapat memperkuat respon.
Tokoh aliran behaviorisme antara lain (1) Pavlov, (2) Watson,(3) skinner, (4) hull, (5)Guthrie, dan (6) thorndike.

a.      Ivan petrovich Pavlov
Pavlov adalah seorang lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Militer  Medical  Academy, St. peterburg. Pengondisian  Pavlov atau klasikalyang membentuk gerak reflex dimulai dengan stimulus yang belum menjadi kebiasaaan. Dan respons yang belum menjadi  kebiasaan. Itulah menurut Pavlov sebagai gerak refleks.
b.      Burrhus Frederic  Skinner
Dengan dasar pemahamannya tentang belajar, tingkah laku, serta hubungan yang erat dengan lingkungan, Skinner menyampaikan asumsi-asumsinya yang membentukan landasan untuk operant conditioning yang kemudian dijadikan sarana menggugat kondisioning klasik, Pavlov. Asumsi-asumsi tersebut sebagai berikut :
1.      Belajar itu adalah tingkah laku
2.      Perubahaan tingkah laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan dalam kejadian-kejadian dilingkungan kondisi-kondisi lingkungan.
3.      Hubungan yang berhukum antara tingkah laku dan lingkungan hanya dapat ditentukan kalau sifat-sifat tingkah laku dan kondisi eksperimennya didefinisikan menurut sifat fisiknya dan diobservasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara seksama.
4.      Data dari studi eksperimental tingkah laku merupakan satu-satunya  sumber informasi yang dapat diterima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.
5.      Tingkah laku individual merupakan sumber  data yang cocok.
6.      Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama untuk semua makhluk hidup.
c.       Jhon Broadus Watson
Menurut pandangan Watson, Behaviorisme harus menerapakan teknik-teknik penyelidikan binatang, yaitu conditioning untuk mempelajari manusia. Oleh karena itu, ia mendefinisikan kembali konsep mental, (yang menurut dia sebetunya tidak perlu) sebagai respons perilaku. Sebagai contoh, berpikir dikenali sebagai tutur subvokal, dan perasaan diartikan sebagai reaaksi kelenjar.

d.      Edward Lee Thorndike
Terkait dengan belajar, thorndike menyampaikan tiga hokum belajar yang utama dan itu diturunkan dari hasil penelitiannya. Ktiga hukum tersebut adalah :
Hukum efek menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respons memperkuatkan hubungan antara stimulus dan tingkah laku, sedangkan keadaan menjengkelkan memperlemah pautan itu. Thorndike kemudian memperbaiki hukum itu, sehingga tidak sama pengaruhnya dalam belajar dengan ganjaran.
Hukum latihan menjelaskan keadaan sperti yang dikatakan pepatah “latihan menjadikan sempurna “. Dengan kata lain, pengalaman yang diulang-ulang memperbesar peluang timbulnya respons yang benar. Akan tetapi, pengulangan yang tidak disertai keadaan yang memuaskantidak meningkatkan belajar.
Hukum kesiapan melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut “memuaskan” atau “menjengkelkan”.Secara singkat pelaksanaan tindakan sebagai respons terhadap impuls yang kuat menimbulkan kepuasan,sedangkan menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya terjadi dalam syarat-syarat yang lain itu menjengkelkan.

2.      KOGNITIVISME
a.      Jean Piaget.
Terkait dengan penelitiannya,Jean Piaget pernah mengatakan bahwa sejak usia balita seseorang telah memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi objek-objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat sederhana,yakni dalam bentuk kemampuan sensor -motorik,namun dengan kemampuan inilah balita tadi akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh  kemudian,serta akan berubah menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit.Kemampuan-kemampuan ini disebut Piaget sebagai skema.
b.      Jerome Bruner.
Menurut Bruner,derajat perkembangan kognitif itu ada tiga tahap.Tahap pertama,enaktif merupakan representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan.Contoh : seorang anak mengatur keseimbangan dipalang timbangan dengan jalan menyesuaikan kedudukan badannya,meskipun anak itu mungkin tidak dapat menjelaskan prosedurnya.Tahap kedua,ikonik yakni perangkuman bayangan secara visual.Anak pada tahap ini dapat mewujudkan palang keseimbangan dalam gambar atau diagram.Tahap ketiga dan yang paling maju adalah refresentasi simbolik.Pada bagian ini digunakan kata-kata dan lambanga-lambang lain untuk melukiskan pembelajaran.

3.      KONSTRUKTIVISME
Von Glaserfeld
Konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data.Oleh karena itu,proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna.Jadi dalam pandangan konstruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat membangun constructive habits of mind.Agar siswa memeiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar.

4.      TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Dengan kata lainapabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan diri sendiri. Tujuan para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya,yaitu membantu masing0masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
a.      Tokoh-tokoh Teori Belajar Humanistik.
Tokoh penting dalam teori belajar humanistic secara teoretik antara lain adalah : Arthur W.Combs,Abraham Maslow,dan Carl Rogers.Arthur Combs (1912-1999) bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan.
1.      Arthur w. Combs.
Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu.Guru tidak dapat memaksakan  materi yang tidak disukai atau tidak relevan  dengan kehidupan mereka. Untuk it, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut, sehingga apabila ingin mengubah perilaku siswa tersebut,guru harus berusaha mengubah keyakianan atau pandangan siswa yang ada.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajaran disusun dan disajikan sebagaimana mestinya.Padahal makna yang diharapkan siswa tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu.Dalam hal ini yang penting ialah bagaimana membwa persepsi siswa untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut  yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil)yang bertitik pusat satu.Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri, makin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa.
2.      Abraham maslow.
Menurut Abraham kemampuan positif erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga hubungan yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonadan pengetahuan interpersonal lainnya.Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia dengan sebagai satu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia atau dengan Freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistic melihat perilaku sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi.Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik,yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain.Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi, Maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam tingkat yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan.
3.      Carls Rogers.
Rogers membedakan dua tipe belajar,yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiential (pengalaman atau signifikansi). Eksperiential learning merujuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar eksperiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajarn yaitu:
a.       Menjadi manusia berartimemiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b.      Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c.       Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berati belajar tentang proses.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
a.       Merespons perasaan siswa.
b.      Mengunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
c.       Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
d.      Menghargai siswa.
e.       Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
f.       Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa)
g.      Tersenyum pada siswa.
a.      Aplikasi Teori Belajar Humanistik.
Aplikasi teori humanistik lebih merujuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi npara siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih dititikberatkan pada proses belajar daripada hasil belajar. Adapun proses yang umunya dilalui adalah :
Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
1.      Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas,jujur dan positif.
2.      Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
3.      Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis,memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
4.      Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat memilih pilihannya sendiri,melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahamo jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif, tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatannya atau proses belajarnya.
5.      Memberikan kesempatan kepada murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan pemerolehan prestasi siswa. Pembelajan berdasarkan teori humanistic ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial.Indikator dari keberhasilan aplikasi ini belajar dan terjadi perubahan pola piker,perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.Siswa diharapakan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.
1.      Prinsip-Prinsip Belajar Humanistik
1.      Manusi mempunyai belajar alami.
2.      Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan.
3.      Siswa mempunyai relevansi dengan maksud tertentu.
4.      Belajar menyangkut perubahan didalam persepsi mengenai dirinya.
5.      Tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan apabila ancaman itu kecil.
6.      Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam memperoleh cara belajar bermakna diperoleh jika siswa melakukannya.
7.      Belajar akan bejalan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
8.      Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang mendalam.
9.      Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri.
10.  Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.


D.    PENDIDIKAN DAN NASIONALISME
1.      Tantangan Pendidikan Nasional.
Berdasarkan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Pendidikan nasional diharapkan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis.
2.      Pemahaman Multikultural
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Sementara itu, Komarudin Hidayat (2004) menyatakan bahwa istilah multikultural tidak hanya merujuk kepada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas kelompok etnis, bahasa, dan agama yang berkembang di Indonesia, tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima keragaman budaya. Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurut pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuh kembangkan karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi dan lingkungan geografi, serta demografis sangat luar biasa baik itu pendidikan formal maupun nonformal.


3.      Multikulturalisme
Lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya.Dengan demikian konsep kearifan budaya perlu untuk dikenalkan kepada segenap masyarakat terutama para siswa.Pemahaman tentang keragaman budaya merupakan sebuah kekayaan bangsa Indonesia patut disyukuri,dihormati,dan dibanggakan. Multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar kebudayaan dari peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multicultural.
Untuk dapat menghargai keragaman etnis,budaya,dan agama diperlukan beberapa prasyarat.Komarudin Hidayat (2004) menyampaikan setidaknya ada lima hal yang perludiperhatikan agar sikap bijak terkait pemahaman keragaman ini bisa dicapai.
Pertama,secara teologis-filosofis diperlukan kesadaran dan keyakinan bahwa setiap individu dan kelompok etnis itu unik,sehingga tumbuh pula keyakinan bahwa dalam keunikannya masing-masing memiliki kebaikan universal yang terbungkus dalam wadah budaya,bahasa,dan agama yang beragam dan bersifat lokal.
Kedua,orang secara psikologis memerlukan pengondisian sikap agar mempunyai inklusif dan positif terhadap orang lain atau kelompok yang berbeda.Cara paling mudah menumbuhkan sikap demikian adalah melalui contoh keseharian yang ditampilkan oleh orang tua,guru disekolah,dan pemuka agama dimasyarakat.
Ketiga,desain kurikulum pendidikan dan kultur sekolah harus dirancang sedemikian rupa,sehingga anak didik mengalami secara langsung makna multicultural dengan panduan guru yang siap dan matang.
Keempat,pada tahap awal hendaknya diutamakan untuk mencari persamaan dan nilai-nilai universal dari keragaman budaya dan agama yang ada,sehingga aspek-aspek yang dianggap sensitif dan mudah menimbulkan konflik tidak menjadi isu yang dominan.
Kelima,dengan berbagi metode kreatif dan inovatif hendaknya nilai-nilai luhur Pancasila disegarkan kembali dan ditanamkan kepada masyarakat,dan peserta didik khususnya agar sense of citizenship dari sebuah Negara-negara semakin kuat.
4.      Pendidikan Toleransi Sebagai Wahana Rekonsiliasi Sosial.
Secara psikologis pendidikan toleransi dan empati mampu memperhalus sensibilitas manusia,membuatnya menyadari eksistensi dirinya sebagai bagian kecil dari system sosial dan kosmos yang lebih besar.Dengan demikian,melalui toleransi dan empati,manusia menyerap perasaan dan pengalaman kehidupan orang lain yang berasal dari ranah geopolitik,geokultural,dan geoetnis berbeda.
5.      Sekolah Berorientasi Multikultural.
Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan pendidikan sebagaimana fungsinya,yakni membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat secara operasional adalah mendudukkan sekolah sebagai agen multikulturalisme.Komarudin Hidayat (2004) mengajukan prinsip yang harus dipahami guru untuk mengarahkan sekolah dengan kultur yang berorientasi multkultural,sebagai berikut.

a.      Setiap Anak adalah Istimewa.
Guru harus memandang setiap peserta didik adalah unik,istimewa,dan terlahir dengan bakat yang berbeda-beda.Anak harus dipahami,diterima apa adanya,dicintai,dan difasilitasi agar masing-masing tumbuh secara optimal sesuai bakat dan minatnya.
b.      Pendekatan “Multi-Intelligences
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mendukung multi intelligences peserta didik.Setiap peserta didik hendaknya dipahami secara individual mengingat masing-masing individu memiliki kekuatan dan kelemahan inteligensia yang berbeda.
c.       Active Learning
Peserta didik merupakan subjek dalam pembelajaran,maka apa pun yang dilakukan guru hendaknya merupakan upaya menumbuhkan potensi mereka.Oleh karena itu,peserta didik dikondisikan untuk aktif dan bebas dalam mengemukakan berbagai pikiran dan imajinasinya.Sebagai fasilitator dan pendidik guru senantiasa memberikan rambu-rambu,motivasi,dan koreksi dengan semangat edukasi dan apresiasi.

d.      Universalitas Agama
Isu perbedaan agama sangat sensitif, sementara perkembagan social justru semakin mengarah kepada pluralitas pemeluk agama. Dengan dasar tersebut, maka keragaman agama  yang apa hendaknya didekati dengan dua cara, yakni: pertama, agama diposisikan sebagai fenomena social dan budaya yang perlu diketahui para siswa. Setiap agama memiliki tradisi dan simbol-simbol yang berbeda-beda yang semuanya hidup berkembang dalam masyarakat. Kedua, diperkenalkan terlebih dahulu nilai-nilai universalitas agama, bahwa semua agama memiliki kesamaan dalam ajar moral.
e.       Semangat Kemanusiaan dan Keindonesiaan
Untuk menjaga identitas diri tanpa harus bersikap eksklusif, sejak dini peserta didik hendaknya diperkenankan dan dibiasakan memahami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan serta cinta bangsa.

E.     MUTU PENDIDIKAN
1.      Sekilas Tentang Mutu Pendidikan Indonesia
Paul Suparno SJ dalam bukunya, Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat diibaratkan seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada di tengah arus lalu lintas di jalan bebas hambatan. Pada satu sisi, betapa pendidikan Indonesia saat ini dirundung masalah besar; sedangkan pada sisi lain, tantangan memasuki millennium ketiga tidaklah main-main. Ia mengutip Sudarminta, SJ yang mengungkap masalah besar tersebut, yaitu:
1)      mutu pendidikan kita yang masih rendah
2)      sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai
3)      krisis moral yang melanda masyarakat kita.
Menteri pertama RI di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mengungkapkan bahwa ada kemungkinan dunia pendidikan kita selama bertahun-tahun terpasung oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang masih samar. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keunggulan nilai humanistic, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal (Soedijarto, 2008).
Kondisi yang meliputi dunia pendidikan membutuhkan konsep yang strategi dan integral, yang dapat mendidik seluruh aspek kemanusiaan manusia dalam menghadapi tantangan arus budaya dan sosial yang sedemikian gencar akibat perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat.
Untuk mendapatkan tolak ukur mutu dapat dilakukan dengan mengukur berdayanya layanan pendidikan. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 telah menyatakan bahwa fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan apabila pendidikan dapat mengantarkan manusia Indonesia sebagaimana yang telah dilukiskan di atas, maka pendidikan telah mencapai tujuannya.
Ada beberapa unsur yang turut menentukan mutu suatu pendidikan. Unsur-unsur tersebut adalah sekolah, masyarakat dan keterlibatan keluarga. Gambaran rendahnya mutu pendidikan juga terlihat dari tahun 1969 dengan perlunya dilaksanakan PPNP (Proyek Penilaian Nasional Pendidikan). Kemudian pada tahun 1970 diadakan pembaharuan mutu pendidikan dan pada tahun 1975 diselenggarakan kurikulum 75 sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan dan satuan pendidikan. Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih rendah, hal ini terlihat jika dibandingkan dengan Negara lain. Laporan UNESCO November 2007, menyebutkan peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari 58 ke 62. Dalam peringkat 130 negara itu Malaysia berada di urutan 56 dan korsel ke-5. Rendahnya mutu pendidikan Indonesia juga tercermin pada kesulitan perubahaan mencari tenaga kerja. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum 2007-2008 berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesame Negara ASEAN, seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura di urutan ke-7 hal ini disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia juga yang menjadi faktor penyebab rendahnya daya saing di samping infrastruktur, birokrasi, lingkungan serta perangkat dan penegakan hukum.
2.      Mengukur Mutu Pendidikan Indonesia
menerjemahkan fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas 2003, maka langkah awal yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan standar nasional pencapaian pendidikan. Dengan standar tersebut akan diketahui hal-hal yang harus dicapai oleh layanan pendidik.
Berdasarkan ragam dan sasarannya, pencapaian mutu pendidikan dapat dilakukan melalui tiga cara.
1)      Akreditasi
2)      Sertifikasi
3)      Penjaminan mutu pendidikan



                                   DAFTAR PUSTAKA
Sukardjo, M dan Komaruddin, Ukim. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
http: //edu-article.com/konsep-ins-kayutanam/.